PERJUANGAN UNTUK SHOLAT DHUHUR DI SEKOLAH
Salah satu hal yang saya pikirkan saat keberangkatan ke Australia adalah bagaimana anak-anak saya tetap bisa belajar menjalankan kewajibannya sebagai muslim. Saat di Indonesia, tentu saya bisa memilihkan sekolah yang menurut saya mampu mendidik secara Islami, terutama membiasakan menutup aurat dan mengajarkan sholat.
Alhamdulillah, anak saya tetap diijinkan memakai kerudung dalam seragam hariannya di public school. Secara hukum, memang ada jaminan dari pemerintah yang mengharuskan sekolah membebaskan muridnya memakai baju yang sesuai keyakinan agamanya, termasuk jilbab.
Untuk urusan sholat, saya berusaha membiasakan anak-anak untuk sholat lima waktu, terutama ketika sudah menginjak usia 7 tahun. Saat summer, anak-anak bisa sholat dhuhur di rumah sepulang sekolah karena pukul 6 pm baru masuk waktu asar. Nah, ketika daylight saving berakhir sekitar autumn, waktu asar bergeser menjadi pukul 3 pm. Dengan keyakinan saya bahwa kemudahan jama' tidak tepat untuk kami yang mukim hampir 4 tahun di Melbourne, anak-anak saya minta sholat dhuhur di sekolah.
Melihat adanya mushola di kampus-kampus dan prayer room di tempat-tempat umum (hospital & station), saya yakin tidak akan ada masalah dengan aktivitas sholat di sekolah ini. Apalagi adanya jaminan kebebasan beragama, termasuk kebebasan tidak beragama.
Saat di grade 2, class teacher mengijinkan anak saya bersama beberapa temannya sholat dhuhur saat lunch break di dalam kelas. Di usia 7-8 tahunan mereka mampu sholat jamaah di tengah keriuhan murid-murid lain yang sedang break, cepat-cepat menghabiskan lunch, mengambil wudu dengan tertib, menunjuk seorang imam dan pulang ke rumah dengan laporan: Mum, aku tadi sudah sholat.
Aktivitas ini berlangsung lancar selama 2 minggu, sampai suatu hari anak-anak bilang: we are not allowed to pray at school now. Ternyata, larangan itu berasal dari principal sekolah.
Bersama parent lain, saya buat surat permohonan resmi ke sekolah minta kesempatan supaya anak2 kami bisa sholat kembali. Surat balasan kami terima, isinya: tidak diijinkan sholat di sekolah dengan alasan sistem pendidikan victoria adalah sekuler dan tidak ada supervisi untuk anak-anak saat sholat.
Sebenarnya, hasil konsultasi ke legal advisor di uni dan human right comission of Australia menyatakan bahwa religious belief must be reasonably accomodated.
Permohonan kami ajukan kembali, kali ini dengan dukungan lebih banyak parents, karena kebetulan cukup banyak Indonesian di sekolah ini. Tapi, jawaban yang kurang lebih sama kembali kami terima, kali ini dengan tambahan anak-anak diijinkan dijemput saat lunch untuk sholat duhur. Perjuangan untuk bisa sholat duhur ini juga dilakukan di school council, semacam POMG (persatuan ortu murid & guru). Ternyata parents non muslim juga mendukung usaha kami ini. Harapan kami, anak-anak bisa sholat di sekolah.
Alhamdulillah, saat tulisan ini dibuat parents masih istiqomah menjemput anak-anak tiap hari ke sekolah saat lunch break. Anak-anak sholeh itu keluar dari kelasnya dengan tertib setelah lunch, tanpa ribut, tanpa mengeluh. Kemudian berjalan bersama menuju rumah parent terdekat, meninggalkan sejenak kesempatan bermain di playground, ikut choir atau main chess untuk sholat dhuhur berjamaah. Subhanallah, anak-anak itu menjadi begitu menginspirasi, kami para parents jadi malu sendiri saat kesibukan bekerja atau menulis tesis membuat kami kadang melalaikan sholat.
Mohon doanya, supaya kami tetap istiqomah dalam perjuangan ini. Supaya perjuangan ini tersimpan dalam memori anak- anak kami sampai dewasa, untuk selalu menegakkan sholat kemanapun mereka nanti berpetualang
Melbourne, 07/05.2012, waktunya membangkitkan semangat mengemban amanah