Monday, 7 September 2015

Ibu santriwati



Saya sedih meninggalkannya di pondok. Dengan kasur tipis untuk tidur dan makanan sederhana yang tersaji tiap hari. Bangun jam 3 pagi supaya tak terlalu lama antri mandi. Cuci baju dan piring sendiri. Apalagi mendengarnya sakit sampai harus tak masuk sekolah. Hati saya teriris, ingin rasanya tiap hari datang menjenguknya. Setiap kali ada makanan kesukaannya terhidang di meja, pahit di lidah yang terasa mengingatnya yang jauh di asrama. Air mata selalu tertumpah saat doa-doa mengalir untuk memohon tambahan kekuatan dan kesabaran untuknya. 

Sampai kemudian tersadar, tak apalah sekarang kami terpisah, namun berharap kami selalu bersama di surga nanti. Tak apalah sekarang bersimbah air mata, namun berharap wajah ceria penuh senyum nanti. 

Toh, kami masih bisa bertemu sebulan sekali. Yang terlihat darinya hanya kebaikan dan cinta saja. 

No comments:

Post a Comment